Selasa, 18 Desember 2012

Guru (Pemimpin) dan Burung: Refleksi untuk Para (Calon) Guru di Masa Depan


Guru (Pemimpin) dan Burung:
Refleksi untuk Para (Calon) Guru di Masa Depan


Oleh: Anas Ahmadi, S.Pd., M.Pd.

Bagaimana jika seekor burung tidak mau  berkicau?
Nobunaga menjawab, “bunuh saja!”
Hideyoshi menjawab, “buat burung itu ingin berkicau!”
Ieyasu menjawab, “tunggu!” (Yoshikawa, 2003)

Kutipan tersebut dinukil dari novel legendaris Jepang, Taiko, karya Eiji Yoshikawa. Sebenarnya, kutipan itu  tidak lain adalah Sajak Jepang (legendaris) yang diajarkan pada anak-anak tingkat Sekolah Dasar. Hebat!

Konon, Nobunaga adalah kaisar Jepang yang tegas, tangan besi, dan berwatak kaku. Ia memimpin kekaisaran Jepang dengan banyak wilayah jajahan. Namun, ia tidak berlangsung lama. Nobunaga dikhianati pasukannya sendiri. Ia ditusuk dari belakang tatkala berperang. Adapun Hideyoshi adalah anak orang biasa, pola pikirnya sederhana, cerdas, fleksibel, dan kreatif. Ia sukses memimpin kekaisaran Jepang sebab rakyatnya banyak yang suka pada gaya memimpinnya yang kreatif. Selanjutnya, Ieyasu, ia menjadi kaisar terlama di Jepang. Ia memimpin dengan penuh kesabaran, kewelasasihan, dan kearifan. Ia sangat disukai oleh rakyatnya dan disegani oleh musuh-musuhnya.
Baiklah, kita sebagai warga negara yang baik (good citizen)  mau tidak mau berharap negara kita menjadi negara yang perintahannya baik (good goverment). Salah satu sendi utama sistem pemerintahan yang baik adalag pendidikan. Selanjutnya, salah satu sendi utama pendidikan adalah guru. Pada awalnya, semuanya adalah guru. Pada akhirnya, semua adalah guru. Konon, segala masalah apapun berawal-berakhir dari guru. Jika pemimpin baik dan benar, rakyat juga baik dan benar, sebaliknya. Dengan demikian, konteks guru di sini bukan hanya guru sebagai pengajar, tetapi guru sebagai pemimpin juga.
            Kutipan sajak tentang burung yang tidak berkicau merepresentasikan tipe guru. Tipe pertama, otoriter, tegas, gegabah, brutal, cepat. Tipe kedua, sederhana, cerdik, kompleks, fleksibel. Tipe ketiga, tenang, sabar, penuh perhitungan, penuh kasih. Anda suka tipe guru yang mana? Baiklah, Anda bebas memilih dan semuanya tidak ada yang salah. Bergantung dari mana Anda memandang.
            Marilah kita bermain-main akademis ataupun ngawur akademis. Jika kita memilih/memunyai guru tipe pertama, murid kita akan pandai dan cerdas. Mengapa? Sebab sang guru menginginkan  murid-muridnya pandai dan cerdas. Jika tidak pandai dan tidak cerdas, buang saja.  Apapun yang terjadi! Sungguh hebat tipe guru seperti ini, cobalah tengok Adolf Hitler –sosok guru (pemimpin) tipe pertama—yang sukses memimpin Jerman[1]. Ia sanagt ditakuti oleh Rusia dan Amerika Dalam kajian Erich Fromm, Hitler adalah guru (pemimpin) yang bertangan besi. Dalam sebuah rapat, tatkala ada yang tidak setuju dengan pemikirannya, langsung orang tersebut di dor oleh Hitler.  
Memang, jika kita menilik lebih jauh, tidak semua orang mudah bergerak dengan cepat seirima dengan pemimpin. Karena itu, rektor Unesa, Prof. Dr. Muklas Samani, mengungkapkan bahwa kita ibarat biduk. Karena itu, harus seirima tatkala mendayung agar bidung bisa bergerak sampai ke tujuan dengan tepat dan selamat.
            Jika kita memilih/memunyai guru tipe kedua, nah, ini agak kreatif. Mengapa? Jika murid yangtidak pandai dna tidak cerdas, ya kita buat pandai dan cerdas saja. Lalu, bagaimana caranya? Langkah pertama, mulailah disusun  konsep pembelajaran  yang bagus dan menyenangkan. Kedua, implementasi pengonsepan pembelajaran yang bagus dan menyenangkan yang konkret, bukan asbun (asal bunyi) Langkah ketiga, memberikan penghargaan (reward) pada yang menaik dan memberikan hukuman (punishment) pada yang menurun.
            Jika kita memilih/memunyai guru tipe ketiga, penuh kesabaran dan ketenangan, apa yang terjadi? Jika ada murid tidak pandai dan tidak cerdas nilainya rendah,  (gampangannya sekarat), berikan hak dia untuk mati. Ibarat manusia, tua, usia 100 tahun, gigi tidak ada, berjalan tidak bisa, bicara tidak mampu, penglihatan tidak jelas, kita harus merelakan kematian dan kepergiannya. Masak, dipaksa hidup terus, kan tidak etis. Selanjutnya, jika mutu pendidikan di Indonesia belum mendunia, ya kita tunggu sampai mutu pendidikan  di Indonesia mendunia. Kata orang Jawa, ngenteni bosoke beling, ta? Nunggu membusuknya kaca? Janganlah, kita harus optimis bahwa ke depan mutu pendidikan kita mendunia jaya. Semoga.





[1] Meskipun Hitler sukses menjadi pemimpin Jerman –yang paling ditakuti oleh semua negara di dunia—pada akhirnya ia meninggal bunuh diri dalam kegagalan. Ia menembak kepalanya sendiri dengan pistol, setelah istri dan anak-anaknya diracuni (oleh Hitler). Penelitian psikologi klinis yang dilakukan Erich Fromm dan Erik  H. Ericson mengungkapkan bahwa dia (Hitler) mengidap deviasi psikologis/deviasi seksual.

2 komentar:

  1. Pak pak, kok suwi ndak posting pak? dimana sekarang?

    TTD Mahasiswa mu Anak Teknik Pak...

    BalasHapus
  2. Hehehehe, iya, posting ke yang lain

    BalasHapus