Guru (Pemimpin) dan Burung:
Refleksi untuk Para (Calon) Guru di Masa Depan
Oleh: Anas Ahmadi, S.Pd., M.Pd.
Bagaimana jika seekor burung tidak
mau berkicau?
Nobunaga menjawab, “bunuh saja!”
Hideyoshi menjawab, “buat burung itu ingin berkicau!”
Ieyasu menjawab, “tunggu!” (Yoshikawa, 2003)
Kutipan tersebut dinukil dari novel legendaris Jepang, Taiko, karya Eiji Yoshikawa. Sebenarnya,
kutipan itu tidak lain adalah Sajak
Jepang (legendaris) yang diajarkan pada anak-anak tingkat Sekolah Dasar. Hebat!
Konon, Nobunaga adalah kaisar Jepang yang tegas, tangan besi, dan berwatak kaku. Ia memimpin kekaisaran Jepang dengan banyak wilayah jajahan. Namun, ia tidak berlangsung lama. Nobunaga dikhianati pasukannya sendiri. Ia ditusuk dari belakang tatkala berperang. Adapun Hideyoshi adalah anak orang biasa, pola pikirnya sederhana, cerdas, fleksibel, dan kreatif. Ia sukses memimpin kekaisaran Jepang sebab rakyatnya banyak yang suka pada gaya memimpinnya yang kreatif. Selanjutnya, Ieyasu, ia menjadi kaisar terlama di Jepang. Ia memimpin dengan penuh kesabaran, kewelasasihan, dan kearifan. Ia sangat disukai oleh rakyatnya dan disegani oleh musuh-musuhnya.
Baiklah, kita sebagai warga negara yang baik (good citizen) mau tidak mau
berharap negara kita menjadi negara yang perintahannya baik (good goverment). Salah satu sendi utama
sistem pemerintahan yang baik adalag pendidikan. Selanjutnya, salah satu sendi
utama pendidikan adalah guru. Pada awalnya, semuanya adalah guru. Pada
akhirnya, semua adalah guru. Konon, segala masalah apapun berawal-berakhir dari
guru. Jika pemimpin baik dan benar, rakyat juga baik dan benar, sebaliknya. Dengan
demikian, konteks guru di sini bukan
hanya guru sebagai pengajar, tetapi guru sebagai pemimpin juga.
Kutipan sajak tentang burung yang
tidak berkicau merepresentasikan tipe guru. Tipe pertama, otoriter, tegas,
gegabah, brutal, cepat. Tipe kedua, sederhana, cerdik, kompleks, fleksibel.
Tipe ketiga, tenang, sabar, penuh perhitungan, penuh kasih. Anda suka tipe guru
yang mana? Baiklah, Anda bebas memilih dan semuanya tidak ada yang salah.
Bergantung dari mana Anda memandang.
Marilah kita bermain-main akademis
ataupun ngawur akademis. Jika kita
memilih/memunyai guru tipe pertama, murid kita akan pandai dan cerdas. Mengapa?
Sebab sang guru menginginkan murid-muridnya
pandai dan cerdas. Jika tidak pandai dan tidak cerdas, buang saja. Apapun yang terjadi! Sungguh hebat tipe guru
seperti ini, cobalah tengok Adolf Hitler –sosok guru (pemimpin) tipe
pertama—yang sukses memimpin Jerman[1]. Ia
sanagt ditakuti oleh Rusia dan Amerika Dalam kajian Erich Fromm, Hitler adalah
guru (pemimpin) yang bertangan besi. Dalam sebuah rapat, tatkala ada yang tidak
setuju dengan pemikirannya, langsung orang tersebut di dor oleh Hitler.
Memang, jika kita menilik lebih jauh, tidak semua orang mudah bergerak dengan
cepat seirima dengan pemimpin. Karena itu, rektor Unesa, Prof. Dr. Muklas
Samani, mengungkapkan bahwa kita ibarat biduk. Karena itu, harus seirima
tatkala mendayung agar bidung bisa bergerak sampai ke tujuan dengan tepat dan
selamat.
Jika kita memilih/memunyai guru tipe
kedua, nah, ini agak kreatif.
Mengapa? Jika murid yangtidak pandai dna tidak cerdas, ya kita buat pandai dan
cerdas saja. Lalu, bagaimana caranya? Langkah pertama, mulailah disusun konsep pembelajaran yang bagus dan menyenangkan. Kedua,
implementasi pengonsepan pembelajaran yang bagus dan menyenangkan yang konkret,
bukan asbun (asal bunyi) Langkah ketiga,
memberikan penghargaan (reward) pada
yang menaik dan memberikan hukuman (punishment)
pada yang menurun.
Jika kita memilih/memunyai guru tipe
ketiga, penuh kesabaran dan ketenangan, apa yang terjadi? Jika ada murid tidak
pandai dan tidak cerdas nilainya rendah, (gampangannya sekarat), berikan hak dia untuk
mati. Ibarat manusia, tua, usia 100 tahun, gigi tidak ada, berjalan tidak bisa,
bicara tidak mampu, penglihatan tidak jelas, kita harus merelakan kematian dan
kepergiannya. Masak, dipaksa hidup terus, kan
tidak etis. Selanjutnya, jika mutu pendidikan di Indonesia belum mendunia, ya
kita tunggu sampai mutu pendidikan di
Indonesia mendunia. Kata orang Jawa, ngenteni
bosoke beling, ta? Nunggu membusuknya kaca? Janganlah, kita harus optimis
bahwa ke depan mutu pendidikan kita mendunia jaya. Semoga.
[1]
Meskipun Hitler sukses menjadi pemimpin Jerman –yang paling ditakuti oleh semua
negara di dunia—pada akhirnya ia meninggal bunuh diri dalam kegagalan. Ia
menembak kepalanya sendiri dengan pistol, setelah istri dan anak-anaknya
diracuni (oleh Hitler). Penelitian psikologi klinis yang dilakukan Erich Fromm
dan Erik H. Ericson mengungkapkan bahwa
dia (Hitler) mengidap deviasi psikologis/deviasi seksual.
Pak pak, kok suwi ndak posting pak? dimana sekarang?
BalasHapusTTD Mahasiswa mu Anak Teknik Pak...
Hehehehe, iya, posting ke yang lain
BalasHapus